Suasana di kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mendadak haru pada Rabu (24/12). Dua orang ibu datang membawa beban berat di pundak mereka. Dengan suara yang bergetar dan mata yang sembap, mereka hadir bukan untuk sekadar bercerita, melainkan menagih janji negara atas keselamatan buah hati mereka yang hingga kini masih menjadi tanda tanya.
Salah satunya adalah Angelia Susanto. Baginya, waktu
seolah berhenti sejak 30 Januari 2020. Itulah hari terakhir ia melihat anak
tunggalnya, Enrico Johannes (EJ). Sudah enam tahun berlalu, namun keberadaan EJ
yang kini berusia 6 tahun masih misterius. Meski yellow notice dan red notice
dari Interpol telah diterbitkan untuk mengejar terduga pelaku, Teodoro
Fernandez Carluen, hasilnya masih nihil.
Segala pintu telah Angelia ketuk. Mulai dari kepolisian,
lembaga negara, Komisi III dan VIII DPR RI, hingga mengirim surat kepada
Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Namun, semua
upaya itu terasa seperti membentur tembok tinggi.
“Red notice sudah ada, tapi tidak ada tindakan
nyata,” ujar Angelia dengan nada getir. Ia mempertanyakan di mana
posisi negara saat masa depan anaknya berada dalam ketidakpastian yang panjang.
Kisah serupa dialami oleh seorang ibu berinisial RK.
Meski sempat tertatih, ia sedikit bernapas lega karena laporan kepolisiannya
kini resmi naik ke tahap penyidikan. Ia sangat mengapresiasi langkah Polres
Jakarta Utara yang menerapkan Pasal 330 KUHP sesuai putusan Mahkamah Konstitusi
demi melindungi hak anak.
Namun, RK sadar ini barulah awal. Ia berharap proses ini
tidak hanya berhenti di atas kertas atau menjadi urusan administrasi belaka.
Baginya, setiap hari yang tertunda adalah beban psikologis bagi sang anak.
“Perkara yang menyangkut hak asuh, keselamatan, dan
kondisi psikologis anak tidak boleh berlarut-larut,” tegas RK.
Menanggapi jeritan hati kedua ibu ini, pihak KemenPPPA
menegaskan bahwa kasus ini tidak boleh dibiarkan tanpa pengawalan. Jika
instruksi internasional seperti red notice tidak segera ditindaklanjuti, maka
yang dipertaruhkan adalah nyawa dan masa depan generasi bangsa.
KemenPPPA berkomitmen untuk terus memantau perkembangan
kasus ini secara berkala. Mereka menuntut akuntabilitas dan langkah nyata dari
aparat penegak hukum karena bagi seorang anak yang terpisah dari orang tuanya, penundaan
keadilan adalah bentuk penderitaan yang berkepanjangan.
Hari itu, kedua ibu tersebut pulang dengan satu harapan
sederhana: Agar Negara Benar-Benar Hadir,
Menjemput Anak-Anak Mereka, Dan Mengakhiri Penantian Yang Menyakitkan Ini.

Posting Komentar