Jakarta – Kebijakan Kementerian Perhubungan (Kemenhub)
yang tertuang dalam Instruksi Menteri (IM) Perhubungan Nomor 3 Tahun 2025 tentang Pengalihan Tugas dan Fungsi Penyelenggaraan Angkutan Sungai, Danau, dan
Penyeberangan (ASDP) telah memicu gelombang pro-kontra, khususnya di Kalimantan
Selatan (Kalsel). Sebuah provinsi yang urat nadinya sangat bergantung pada
transportasi perairan, kini menghadapi disrupsi birokrasi yang dikhawatirkan
oleh para pelaku usaha kecil dapat menjadi "biaya siluman" baru.
Pengalihan wewenang yang strategis ini, dari semula di
bawah Direktorat Jenderal Perhubungan Darat (DJPD) kini beralih ke Direktorat
Jenderal Perhubungan Laut (DJPL), seolah menarik garis batas baru di atas air,
memindahkan meja pengurusan dokumen dari Dinas Perhubungan (Dishub) setempat ke
Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Kelas I Banjarmasin.
Meraba Rasionalitas Regulasi: Keselamatan sebagai
Prioritas?
Instruksi Menteri Nomor 3 Tahun 2025 secara fundamental
bertujuan menyatukan penanganan aspek kelautan dan keselamatan pelayaran di
bawah satu atap, yaitu DJPL. Rasionalitas utamanya, sebagaimana disinyalir oleh
Kemenhub, adalah untuk mendongkrak standar keselamatan pelayaran, termasuk di
sungai dan danau, dengan mengaplikasikan standar maritim yang lebih ketat.
"Keputusan ini dibuat untuk memudahkan proses
di masa mendatang. Pengurusan dokumen bahkan akan dapat dilakukan secara online,"
tegas Direktur Jenderal Perhubungan Laut, Muhammad Masyhud, saat menerima
audiensi di Kantor Kemenhub. Ia menjamin bahwa acuan biaya telah baku, merujuk
pada Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2016, yang seharusnya meniadakan
praktik kenaikan tarif seenaknya.
Namun, di balik narasi sentralisasi demi efisiensi dan
keselamatan, tersembunyi kekhawatiran yang riil di tingkat lapangan.
Jeritan IKASUDA: Trauma Biaya dan Birokrasi Jauh
Dampak paling kentara dirasakan oleh Asosiasi Ikatan
Kapal Sungai dan Danau (IKASUDA) Kalselteng. Bagi ratusan pemilik kapal dan
ribuan kru di Kalsel dan Kalteng, wilayah yang memiliki ribuan armada
transportasi sungai, perubahan lokasi pengurusan surat persetujuan berlayar
(SPB), sertifikat kapal, dan dokumen penting lainnya adalah ancaman serius
terhadap kelangsungan usaha.
Amir Mahmud, Dewan Penasehat IKASUDA Kalselteng, dengan
terus terang menyampaikan keberatan yang mendasar: ketakutan akan birokrasi
yang lebih rumit dan potensi peningkatan biaya tak resmi.
"Kami merasa keberatan karena dikhawatirkan
kebijakan ini justru akan mempersulit proses pengurusan dokumen dan berpotensi
meningkatkan biaya yang harus dikeluarkan," ujar Amir Mahmud.
Kekhawatiran ini bukan tanpa dasar. Pengalihan ke KSOP
Kelas I Banjarmasin, yang secara tradisional mengurus kapal-kapal besar yang
melayari laut, dikhawatirkan menciptakan sistem yang terlalu berat dan berjarak
(birokratis) bagi kapal-kapal sungai dan danau yang karakteristiknya berbeda,
baik dari segi ukuran maupun area operasional. Kapal-kapal kecil ini biasanya
diurus di kantor Dishub yang relatif lebih dekat dan fleksibel.
Pertemuan Pencerahan vs. Risiko "Pihak yang
Memanfaatkan"
Audiensi yang melibatkan Dirjen Hubla, Komisi III DPRD
Kalsel, dan berbagai stakeholder terkait, termasuk IKASUDA, berhasil meredakan
ketegangan. Amir Mahmud, setelah mendengar penjelasan dari pihak DJPL,
menyatakan asosiasinya merasa mendapat pencerahan.
"Kami menjadi dapat pencerahan dari penjelasan
dari bidang apa tentang perhubungan laut, ternyata kami diberi kemudahan,
Pak," kata Amir Mahmud, mengindikasikan bahwa janji kemudahan,
terutama dalam hal kelengkapan kapal, telah disampaikan langsung oleh Dirjen
Hubla.
Namun, pengakuan Dirjen Perhubungan Laut, Muhammad
Masyhud, dalam pertemuan tersebut justru membuka tabir masalah lain yang lebih
gelap, yang membutuhkan perhatian serius:
"Ini menurut kami juga sangat penting, yaitu
bagaimana ada memang pihak-pihak yang memanfaatkan setiap kegiatan yang
melibatkan proses-proses perizinan itu ada. Dan menurut kami bukan informasi
yang pertama ini kami mendapatkan hal seperti itu ada pihak-pihak yang
memanfaatkan yang kepentingannya adalah finansial keuntungan yang itu bisa
menjadi kerugian kepada pihak-pihak yang sesungguhnya lebih
berkepentingan."
Pernyataan ini menggarisbawahi akar masalah: kekhawatiran
biaya yang meningkat bukan semata karena tarif resmi, melainkan karena
praktik-praktik pungutan liar atau "biaya siluman" yang rentan
terjadi dalam proses birokrasi perizinan. Pengalihan wewenang ke entitas baru
(KSOP di bawah DJPL) ditakutkan membuka celah baru bagi praktik-praktik
memberatkan tersebut.
Sorotan Legislatif: DPRD Kalsel Tegaskan Regulasi Tak
Boleh Disamakan dengan Laut
Dalam pertemuan audiensi, kehadiran Komisi III DPRD
Kalimantan Selatan menjadi penyeimbang penting. Alpiya Rakhman, Wakil Ketua
DPRD Kalsel secara eksplisit menyoroti ancaman terbesar dari pengalihan
kewenangan ini: penyeragaman standar teknis dan biaya perawatan.
"Ya, hari ini kami bersama IKASUDA
menyampaikan bahwa ketika regulasi itu diperlakukan, jangan disamakanlah
transportasi sungai dan danau ini dengan yang laut karena sangat jauh
berbeda," tegas Alpiya Rakhman.
Perbedaan yang paling krusial, menurut Legislatif, adalah
kewajiban yang berlebihan jika mengadopsi standar laut. Hal ini berpotensi
menyebabkan pembengkakan biaya yang tidak relevan bagi kapal sungai kecil.
"Perbedaannya seperti apa? Yang kayak seperti docking
tadi, yang diwajibkan seperti di laut, yang tidak serta merta karena laut ada
air asin yang wajib setiap tahun harus [dilakukan]. Tuntutan dari pengusaha
kapal, kemudian hal-hal lain termasuk [uji fisik] dan lain-lain juga,
kawan-kawan jangan disamakan dari kewajiban yang dilakukan oleh pengusaha kapal
di air laut." Ujar Alpiya Rakhman
Pernyataan ini memberikan sinyal kuat bahwa DPRD akan
mengawal agar implementasi IM3/2025 harus memuat diskresi khusus yang mengakomodasi
karakteristik unik dan kondisi operasional angkutan sungai dan danau, sehingga
tidak memberatkan pelaku usaha kecil dengan biaya perawatan ala kapal laut.
Penyelidikan Lanjut: Menanti Transparansi Online
Sementara itu, Dewan Pengawas Ikasuda Kalseteng, Akhamad
Maulana Malik Ibrahim menambahkan, nasib ribuan pelaku usaha di Kalsel akan
sangat bergantung pada implementasi janji-janji yang disampaikan oleh DJPL,
terutama terkait sistem pengurusan dokumen secara daring (online). “Jika
sistem online ini gagal berjalan transparan, akuntabel, dan terstandarisasi
dengan baik, maka kekhawatiran IKASUDA akan menjadi kenyataan: alih-alih
efisiensi, yang muncul adalah sentralisasi birokrasi yang memberatkan”.
Komitmen Dirjen Perhubungan Laut untuk menjadikan
aspirasi dan keberatan stakeholder sebagai catatan penting untuk perbaikan
regulasi harus dibuktikan. Kemenhub kini dihadapkan pada tantangan besar untuk
tidak hanya memindahkan kotak organisasi di kertas, tetapi juga memastikan
perpindahan wewenang ini benar-benar mewujudkan kemudahan berusaha dan keselamatan
pelayaran, sambil secara tegas menghilangkan praktik-praktik yang memberatkan
seluruh stakeholder dalam dunia pelayaran sungai dan danau.
Kepada Dirjen Perhubungan Laut, Muhammad Masyhud dan
seluruh jajarannya, masyarakat dan pelaku usaha menanti bukan sekadar
instruksi, tetapi sebuah perubahan sistem yang jujur dan dapat dirasakan
langsung kemudahannya.









Posting Komentar