Belakangan ini, ada pemandangan yang tak biasa di
beberapa kafe dan restoran Tanah Air. Jika dulu alunan musik menjadi teman
setia pengunjung, kini banyak tempat memilih untuk memutar suara kicauan burung
atau bahkan gemericik air sebagai latar. Fenomena ini bukan tanpa alasan. Di
balik ketenangan suara alam, tersimpan kegelisahan para pemilik usaha terkait
kewajiban membayar royalti musik.
Memutar musik di ruang publik, baik itu lagu pop terbaru
atau tembang nostalgia, ternyata membawa konsekuensi hukum. Pemerintah melalui Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun
2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik mewajibkan
setiap pelaku usaha, mulai dari kafe, restoran, gym, hingga mal, untuk
membayarkan royalti kepada para pencipta dan pemilik hak terkait. Pembayaran
ini dikelola oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
Dilema Royalti dan Solusi Suara Alam
Ketua Umum LMKN, Dharma Oratmangun, menanggapi fenomena
ini dengan santai. "Ya bagus-bagus saja, enggak apa-apa kan. Enggak ada
kewajiban harus memutar musik," ujarnya. Ia membenarkan bahwa tak ada
paksaan bagi pelaku usaha untuk memutar musik. Namun, jika memang musik
diputar, baik itu lagu Indonesia, lagu barat, atau lagu tradisional, maka
kewajiban membayar hak cipta mutlak harus dipenuhi.
Uniknya, pilihan memutar suara burung pun tak sepenuhnya
bebas dari “hukum rimba”. Dharma menjelaskan, jika suara burung itu berasal
dari rekaman yang diproduksi oleh produsen fonogram, maka ada hak terkait yang
harus dihormati. Produsen rekaman tersebut memiliki hak atas materi audionya.
Dharma sendiri merasa heran mengapa banyak pihak justru
mencari celah untuk menghindari kewajiban ini, bahkan sampai menghentikan
pemutaran musik lokal. Padahal, solusi ideal adalah tetap memutar musik yang
relevan dengan usaha mereka, sembari menghormati hak para pencipta melalui
pembayaran royalti. "Kenapa susah sih untuk membayar haknya orang gitu?
Itu harus kita edukasi masyarakat juga kan. Mendapatkan keuntungan di kafe atau
di apa gitu, enggak mau bayar haknya orang gitu. Itukan enggak bagus, itu
bertentangan dengan budaya kita," tegasnya.
DJKI: Langganan Streaming Bukan Lisensi Komersial
Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI)
Kementerian Hukum dan HAM turut mempertegas aturan ini. Direktur Hak Cipta dan
Desain Industri, Agung Damarsasongko, menegaskan bahwa langganan layanan
streaming pribadi seperti Spotify atau YouTube Premium tidak mencakup hak
pemutaran musik untuk tujuan komersial di ruang publik. "Layanan
streaming bersifat personal. Ketika musik diperdengarkan kepada publik di ruang
usaha, itu sudah masuk kategori penggunaan komersial, sehingga dibutuhkan
lisensi tambahan melalui mekanisme yang sah," jelas Agung.
LMKN hadir untuk mempermudah proses ini, menghimpun dan
mendistribusikan royalti secara transparan kepada para pencipta dan pemilik hak
terkait. Ini bertujuan menciptakan keseimbangan agar seniman mendapatkan hak
ekonominya, sementara pelaku usaha juga merasa nyaman dalam menjalankan bisnis.
Meskipun beberapa pelaku usaha sempat khawatir dan bahkan
berencana memblokir lagu-lagu Indonesia, Agung mengimbau agar tidak perlu
takut. Justru, tindakan semacam itu dapat melemahkan ekosistem musik lokal dan
menghilangkan apresiasi terhadap musisi Tanah Air. "Musik adalah bagian
dari identitas budaya. Ketika pelaku usaha enggan memberikan apresiasi yang
layak kepada pencipta lagu Indonesia, yang dirugikan bukan hanya seniman,
tetapi juga konsumen dan iklim kreatif nasional secara keseluruhan,"
pungkasnya.
Lalu, bagaimana dengan musik instrumental bebas lisensi
atau lagu dari luar negeri? Agung mengingatkan untuk tetap berhati-hati. Tidak
semua musik instrumental bebas dari perlindungan hak cipta, dan lagu luar
negeri pun tetap memiliki kewajiban royalti jika dilindungi hak cipta.
Sebagai alternatif, pelaku usaha yang memiliki
keterbatasan anggaran untuk royalti musik bisa mempertimbangkan opsi lain
seperti menggunakan musik bebas lisensi (royalty-free) atau musik dengan
lisensi Creative Commons yang memperbolehkan penggunaan komersial.
Memutar musik ciptaan sendiri, menggunakan suara
alam/ambience, atau bahkan bekerja sama langsung dengan musisi independen yang
bersedia memberikan izin tanpa biaya juga bisa menjadi pilihan menarik.
Dengan demikian, fenomena kicauan burung di kafe ini tak
hanya sekadar pilihan artistik, namun juga cerminan dinamika kompleks antara
apresiasi seni dan kewajiban hukum dalam dunia usaha.

Posting Komentar