Judol di Kalangan Penerima Bansos: Ketika Bantuan Tak Lagi Tepat Sasaran

 


 

 



Di tengah upaya negara menyalurkan bantuan sosial demi mengentaskan kemiskinan, fakta yang mencuat belakangan ini justru menimbulkan keprihatinan. Kementerian Sosial bersama Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkap data mengejutkan: ratusan ribu penerima bantuan sosial tercatat melakukan transaksi judi online sepanjang semester pertama 2025.

 

Menteri Sosial Saifullah Yusuf, atau yang akrab disapa Gus Ipul, menyampaikan bahwa Jawa Barat menjadi provinsi dengan jumlah penerima bansos yang paling banyak terlibat dalam aktivitas perjudian digital tersebut. “Ada 49.431 orang penerima bansos di Jawa Barat yang teridentifikasi main judi online, dengan total transaksi mencapai Rp199 miliar,” ungkapnya di Jakarta, Kamis (7/8).

 

Data serupa juga mencuat dari provinsi lain, seperti Jawa Tengah (18.363 orang, Rp83 miliar), Jawa Timur (9.771 orang, Rp53 miliar), hingga DKI Jakarta (7.717 orang, Rp36 miliar). Di tingkat kabupaten/kota, Kabupaten Bogor mencatat angka tertinggi: 5.497 penerima bansos dengan total transaksi Rp22 miliar.

 

Secara nasional, PPATK menemukan setidaknya 132.557 rekening penerima bansos melakukan transaksi judol sepanjang paruh pertama 2025, dengan nilai mencapai Rp542,5 miliar. Mayoritas transaksi dilakukan melalui dompet digital Dana, disusul BCA, BRI, BNI, dan Mandiri. “Kita ingin bantuannya tepat sasaran. Bukan digunakan untuk berjudi,” tegas Gus Ipul.

 

Evaluasi dan Langkah Lanjut

Dari sekitar 600 ribu penerima bansos yang terindikasi terlibat judi online berdasarkan penelusuran di tahun 2024, Kemensos telah mencoret 228 ribu nama dari daftar penerima. Sementara sekitar 375 ribu lainnya masih dalam proses evaluasi lanjutan.

 

Gus Ipul menambahkan bahwa ke depan, seluruh rekening calon penerima bansos akan disaring lebih ketat. “Kami ingin PPATK bisa melakukan screening terhadap rekening-rekening yang akan menerima bansos pada penyaluran berikutnya,” ujarnya.

 

Korban Sistem, Bukan Semata Pelaku

Di tengah derasnya arus kecaman publik, muncul suara berbeda dari kalangan akademisi. Sosiolog Universitas Gadjah Mada, Andreas Budi Widyanta, mengingatkan agar persoalan ini tidak semata dilihat sebagai kegagalan moral individu.“Ini bukan soal moralitas pribadi. Penerima bansos adalah korban dari sistem yang abai, baik dalam perlindungan sosial maupun literasi digital,” ujarnya.

 

Widyanta menyebut bahwa data penerima bansos yang tidak akurat serta kurangnya edukasi digital menjadi dua akar persoalan. Ia juga menyoroti peran negara yang dianggap lalai dalam menutup akses terhadap platform-platform judi online. “Negara bukan hanya membiarkan, tapi dalam beberapa hal justru memfasilitasi,” katanya.

 

Lebih jauh, ia menggambarkan bagaimana judi online bisa menyeret seseorang ke dalam lingkaran kekerasan yang lebih dalam: dari pinjaman online, penjualan aset, hingga tindak kekerasan domestik.

 

Membangun Solusi, Bukan Sekadar Sanksi

Widyanta menekankan bahwa pendekatan hukum semata tidak cukup. Menurutnya, solusi harus menyentuh aspek pemberdayaan dan kemandirian ekonomi masyarakat. “Jangan jadikan bansos sebagai alat menciptakan ketergantungan. Negara harus hadir, bukan sekadar menghukum, tapi mendampingi dan membebaskan.”

 

Isu ini seakan menjadi pengingat, bahwa di balik angka-angka dan data transaksi, ada cerita tentang bagaimana bantuan yang seharusnya menyelamatkan justru bisa menjadi awal dari kejatuhan, jika tidak dikelola dengan bijak.

 

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama