Sebuah foto nota pembayaran restoran belakangan menjadi
viral di media sosial, memicu perbincangan hangat di kalangan warganet.
Unggahan dari akun Instagram @mazdjopray itu menampilkan struk makan yang tak
biasa. Di antara daftar pesanan seperti Bola Bola Susu, Bebek Manis, dan Es
Dawet Durian, tertera sebuah item yang menarik perhatian: "Royalti
musik dan lagu" sebesar Rp29.140.
Biaya ini, yang biasanya tidak dicantumkan secara
eksplisit, ditambahkan bersama service charge dan pajak. Alhasil, total tagihan
yang semula hanya untuk makanan dan minuman, membengkak hingga mencapai
Rp742.940.
Tentu saja, hal ini memicu beragam respons. Sebagian
warganet mengapresiasi transparansi dari pihak restoran, menganggapnya sebagai
bentuk kepatuhan terhadap aturan hak cipta. Namun, tidak sedikit pula yang
mempertanyakan, "Mengapa biaya ini harus dibebankan langsung kepada
konsumen?"
Lantas, bagaimana sebenarnya aturan main mengenai
royalti musik di tempat umum?
Apa Itu Royalti Musik dan Siapa yang Wajib Membayar?
Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak
Cipta, pelaku usaha yang memutar musik berhak cipta di area komersial memang
memiliki kewajiban untuk membayar royalti. Aturan ini ditegaskan kembali dalam
Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor HKI.02/2016, yang secara spesifik
menyebutkan bahwa usaha jasa kuliner seperti restoran dan kafe yang menggunakan
musik di tempatnya harus membayarkan kompensasi ini.
Tujuannya mulia: memberikan hak yang layak kepada
para pencipta lagu dan pemilik hak terkait atas karya mereka yang telah
digunakan untuk menunjang suasana tempat usaha.
Untuk menunaikan kewajiban ini, pelaku usaha biasanya
membayar royalti melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Dikutip
dari Guru Besar Kekayaan Intelektual Universitas Padjajaran, Ahmad M Ramli,
"Jika pelaku usaha telah membayar kepada LMKN sesuai kriteria yang
ditetapkan, maka menggunakan lagu apa pun di restorannya tidak akan menjadi
pelanggaran."
Adapun besaran tarif resminya diatur sebesar Rp60 ribu
per kursi per tahun untuk hak pencipta dan Rp60 ribu per kursi per tahun untuk
hak terkait. Jika digabungkan, total kewajiban royalti yang harus dibayarkan
adalah Rp120 ribu per kursi setiap tahun.
Mengapa Royalti Musik Tiba-Tiba Muncul di Struk
Pelanggan?
Meskipun kewajiban pembayaran royalti dibebankan kepada
pemilik usaha, pada praktiknya, ada beberapa restoran atau kafe yang memilih
untuk membebankan sebagian biaya operasional ini kepada konsumen. Langkah ini,
meski memicu pro dan kontra, sebenarnya tidak ilegal.
Restoran memiliki hak untuk menentukan skema pembebanan
biaya operasional mereka, termasuk royalti musik, selama tetap transparan
kepada pelanggan. Dalam kasus struk yang viral ini, biaya sebesar Rp29.140
dikenakan kepada pelanggan sebagai bagian dari total tagihan.
Intinya, pembayaran royalti ini bukan sekadar formalitas.
Musik yang diputar di restoran atau kafe dianggap sebagai bagian dari layanan
yang meningkatkan kenyamanan pelanggan. Dengan membayar royalti, pelaku usaha
turut memastikan para musisi dan pencipta lagu mendapatkan kompensasi yang adil
atas karya mereka.
Sampai saat ini, pihak restoran terkait belum memberikan
keterangan resmi mengenai kebijakan mereka. Namun, unggahan ini telah berhasil
membuka mata publik tentang seluk-beluk hak cipta musik dan bagaimana
implementasinya memengaruhi pengalaman kita saat

Posting Komentar