Bupati, Pajak, dan Arah Suara Rakyat: Riak Kenaikan PBB di Pati

 




Pati bergejolak… Suasana di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, tiba-tiba memanas setelah Bupati Sudewo menaikkan tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 250 persen. Kebijakan ini bukan hanya memicu protes warga, tetapi juga menuai tantangan langsung dari sang bupati, yang kini menjadi sorotan publik di tingkat nasional.

 

Tantangan yang Menghebohkan Publik

Suasana awalnya tenang, sampai sebuah video pernyataan Sudewo tersebar luas di media sosial. Dalam video tersebut, Sudewo secara terbuka menantang warganya yang menolak kenaikan pajak. "Siapa yang akan melakukan penolakan? Silakan lakukan," ujarnya dengan nada tegas.

 

Tantangan itu tak berhenti di situ. Ia bahkan meminta warga untuk tidak hanya membawa 5.000 demonstran, tetapi 50.000 orang sekaligus. “Silakan kalau mau demo. Bukan cuma lima ribu orang, bawa lima puluh ribu pun, saya tidak akan mengubah keputusan.” tegasnya. Sontak, pernyataan ini menjadi perbincangan panas, tidak hanya di Pati, tetapi juga di kancah nasional, memicu pertanyaan tentang mentalitas birokrasi dan cara pemimpin berinteraksi dengan rakyatnya.

 

Alasan di Balik Kenaikan PBB

Kenaikan tarif PBB-P2 ini disepakati pada Ahad, 18 Mei 2025, setelah Sudewo mengadakan rapat bersama para camat dan anggota Paguyuban Solidaritas Kepala dan Perangkat Desa Kabupaten Pati (Pasopati). Menurut Sudewo, kenaikan ini adalah langkah yang harus diambil untuk kemajuan daerah.

 

"PBB sudah lama tidak dinaikkan, 14 tahun tidak naik," jelas Sudewo dalam keterangan resmi di laman humas.patikab.go.id. Ia menambahkan bahwa kenaikan ini bertujuan untuk meningkatkan pendapatan daerah demi mendukung berbagai program pembangunan. Saat ini, penerimaan PBB Kabupaten Pati hanya sekitar Rp 29 miliar. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan kabupaten tetangga seperti Jepara yang mencapai Rp 75 miliar, serta Rembang dan Kudus yang masing-masing sekitar Rp 50 miliar.

 

Menurut Sudewo, Pati memiliki potensi geografis yang lebih besar dan butuh dana besar untuk pembangunan. "Beban kami pembangunan infrastruktur jalan, pembenahan RSUD RAA Soewondo, pertanian, perikanan, semuanya membutuhkan anggaran yang sangat tinggi," katanya. Dengan adanya kenaikan ini, ia berharap anggaran untuk berbagai program tersebut bisa terpenuhi. Para camat dan kepala desa diklaim telah sepakat untuk melaksanakan kebijakan ini.

 

Kontroversi dan Respons Publik

Keputusan Bupati Pati yang menaikkan pajak tanpa transparansi dan dialog publik, menurut banyak pihak, memperlihatkan minimnya akuntabilitas dalam proses pengambilan kebijakan strategis.

Hingga saat ini, kontroversi terus bergulir. Warga Pati, di satu sisi, merasa keberatan dengan kenaikan pajak yang memberatkan. Di sisi lain, sikap sang bupati yang terkesan otoriter justru memicu perdebatan yang lebih luas tentang etika pelayanan publik dan peran pemimpin dalam mengelola aspirasi rakyat.

 

Pati, hari ini, mungkin tengah berada di persimpangan penting: antara kebutuhan fiskal dan kewajiban mendengarkan. Kebijakan yang baik tidak hanya ditentukan oleh angka dan rencana, tetapi juga oleh cara menyampaikannya, dan sejauh mana ia mendapat kepercayaan. Sebagai masyarakat, warga Pati berharap bukan hanya pada pembangunan jalan atau rumah sakit yang megah. Mereka juga menginginkan pemimpin yang bersedia berjalan bersama, mendengar, dan berbicara dengan hati.

 

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama