Ancaman Banjir dan Duka Mendalam yang Belum Usai di Pakistan



 

 


Gelapnya awan mendung kembali menyelimuti langit Pakistan. Sebuah ancaman baru muncul di tengah duka yang belum usai. Saat tim penyelamat masih sibuk mencari sisa-sisa kehidupan dari tumpukan puing di barat laut, otoritas Pakistan mengeluarkan peringatan banjir untuk distrik-distrik di bagian selatan negara itu. Peringatan ini bukan sekadar pemberitahuan biasa, melainkan pengingat tragis akan bencana serupa yang melanda wilayah ini pada tahun 2022, menewaskan ribuan orang dan meninggalkan luka mendalam bagi bangsa.

 

Pusat Operasi Darurat Nasional memprediksi curah hujan ekstrem, sekitar 100 milimeter dalam 24 jam, yang berpotensi melumpuhkan kota-kota besar seperti Karachi, Hyderabad, Thatta, Badin, Mirpurkhas, dan Sukkur. Banjir yang mengancam ini tidak hanya akan merendam jalan raya dan mengganggu transportasi, tetapi juga dapat memutus jaringan listrik dan telekomunikasi, menjerumuskan jutaan orang ke dalam kegelapan dan isolasi.

 

Dalam 24 jam terakhir saja, korban tewas akibat insiden terkait hujan telah mencapai 41 orang, menambah panjang daftar korban yang sejak 26 Juni lalu telah menewaskan sedikitnya 746 jiwa. Sekolah-sekolah di Karachi terpaksa ditutup, sementara jalanan kota berubah menjadi sungai yang tak terduga.

 

 

Perjuangan Tanpa Henti: Pencarian di Lembah Buner

Di sisi lain, di distrik Buner, barat laut Pakistan, tim penyelamat, dibantu anjing pelacak militer, terus melanjutkan pencarian suram untuk hampir 150 orang yang masih hilang. Suara mesin berat dan teriakan putus asa menggema di antara puing-puing, sisa-sisa dari desa yang diterjang banjir bandang. Banjir ini bukan sekadar air, melainkan gelombang lumpur dan batu-batu sebesar mobil yang menyapu bersih apa pun yang ada di jalannya.

 

Tragedi ini merenggut nyawa-nyawa tak bersalah. Menurut juru bicara layanan darurat Mohammad Suhail, jumlah korban tewas di Buner kini telah mencapai 290 orang. Di tengah kesedihan yang mendalam, tim penyelamat berupaya sekuat tenaga menyediakan bantuan, termasuk tenda, selimut, dan makanan, sementara warga yang selamat berjuang memulihkan listrik dan jalur transportasi.

 

Perdana Menteri Shehbaz Sharif dan panglima militer Marsekal Lapangan Asim Munir, telah mengunjungi lokasi bencana, menjanjikan kompensasi finansial dan perbaikan infrastruktur. Namun, di balik janji-janji itu, ada peringatan pahit: jangan membangun di dekat bantaran sungai. Sebuah pengingat yang datang terlambat bagi banyak orang.

 

Para korban selamat menceritakan kisah-kisah mengerikan tentang bagaimana banjir bandang datang secara tiba-tiba, tanpa peringatan. Zarin Gul, seorang petani berusia 45 tahun, menyaksikan sendiri awan gelap yang berkumpul di pegunungan pada 15 Agustus. Ia mencoba memperingatkan keluarga bibinya, namun ia tak sempat.

 

"Batu-batu besar, beberapa seukuran ruangan, berjatuhan seperti jerami di tengah derasnya air, menghancurkan rumah-rumah yang belum pernah dilanda banjir sebelumnya," kenangnya, dengan suara bergetar.

 

Di desa Malik Pura, pemilik ladang gandum Raza Khan, 50 tahun, masih terkejut dengan kecepatan bencana itu. "Semuanya begitu tiba-tiba sehingga kami bahkan tidak menyadari ketika semuanya tersapu," ujarnya, tatapannya kosong, dipenuhi kesedihan yang tak terucap.

 

Pakistan kini berada di persimpangan jalan, di antara ancaman bencana baru dan duka yang belum terobati. Warga negara itu hanya bisa berharap tragedi ini tidak akan terulang, sementara pemerintah dan dunia internasional harus segera bergerak untuk melindungi mereka dari amukan alam yang semakin ganas.






 

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama