Aksi Mahasiswa dan Buruh 25 Agustus 2025: Mengurai Narasi dan Fakta

 





Beberapa waktu lalu, jagat media sosial diramaikan dengan narasi tentang rencana demonstrasi besar-besaran oleh mahasiswa pada 25 Agustus 2025. Namun, kabar tersebut perlu ditinjau kembali kebenarannya.

 

Narasi yang beredar menyebutkan akan ada aksi besar mahasiswa di depan Gedung DPR RI, mengusung misi pembubaran DPR, pengesahan RUU Perampasan Aset, hingga tuntutan penurunan jabatan Puan Maharani. Namun, kebenaran kabar ini dibantah langsung oleh oleh perwakilan mahasiswa. Koordinator Media BEM SI Kerakyatan, Pasha Fazillah Afap mengatakan: “Izin Konfirmasi Pula Itu Bukan Dari Kami”. Mereka sudah melaksanakan unjuk rasa pada 21 Agustus 2025..

 

 

Tuntutan Buruh: Hapus Outsourcing, Tolak Upah Murah

Di sisi lain, Presiden Partai Buruh Said Iqbal mengonfirmasi bahwa kelompoknya akan menggelar aksi besar pada Kamis, 28 Agustus 2025. Aksi ini akan berlangsung serentak di berbagai kota di Indonesia, melibatkan puluhan ribu buruh yang tergabung dalam Partai Buruh dan Koalisi Serikat Pekerja, termasuk Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI).

 

Aksi yang diberi nama HOSTUM (Hapus Outsourcing, Tolak Upah Murah) ini akan berpusat di Jakarta, tepatnya di depan Gedung DPR RI atau Istana Kepresidenan. Tidak kurang dari 10 ribu buruh dari Karawang, Bekasi, Bogor, Depok, Tangerang, dan DKI Jakarta akan bergerak menuju pusat ibu kota. Selain itu, unjuk rasa serupa juga akan digelar di berbagai wilayah industri seperti Serang, Bandung, Surabaya, Medan, Batam, hingga Makassar.

 

Aksi ini mengusung berbagai tuntutan penting yang berkaitan dengan kesejahteraan buruh dan pekerja.

 

1. Tolak Upah Murah: Kenaikan Upah Minimum 8,5% - 10,5%

Buruh menuntut kenaikan upah minimum nasional untuk tahun 2026 sebesar 8,5% hingga 10,5%. Tuntutan ini didasarkan pada perhitungan yang selaras dengan putusan Mahkamah Konstitusi, yang mempertimbangkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan data yang ada, inflasi diproyeksikan berada di kisaran 3,26%, sementara pertumbuhan ekonomi sekitar 5,1% hingga 5,2%. Kombinasi kedua faktor ini menghasilkan angka kenaikan upah yang layak, yakni 8,5% hingga 10,5%.

Tuntutan ini juga didasari oleh klaim pemerintah bahwa angka pengangguran dan kemiskinan menurun. Dengan demikian, buruh menilai pemerintah seharusnya berani menaikkan upah agar daya beli masyarakat meningkat dan turut mendorong pertumbuhan ekonomi.

 

2. Hapus Outsourcing

Tuntutan lainnya adalah penghapusan sistem kerja alih daya atau outsourcing. Meskipun Mahkamah Konstitusi telah memutuskan bahwa outsourcing hanya boleh diterapkan pada jenis pekerjaan tertentu, praktiknya masih meluas, bahkan di Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Presiden KSPI Said Iqbal menekankan bahwa pekerjaan inti tidak boleh di-outsourcing. Sistem ini seharusnya hanya berlaku untuk pekerjaan penunjang, seperti petugas keamanan. Oleh karena itu, buruh menuntut pemerintah untuk mencabut Peraturan Pemerintah (PP) No. 35 Tahun 2021 yang dianggap melegalkan praktik outsourcing secara luas.

 

3. Isu Lain yang Turut Disuarakan

Selain dua tuntutan utama tersebut, aksi ini juga menyuarakan beberapa isu lain, di antaranya:

Stop PHK: Pembentukan Satuan Tugas (Satgas) khusus untuk menangani Pemutusan Hubungan Kerja. Reformasi Pajak Buruh: Kenaikan Batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) hingga Rp7.500.000 per bulan, serta penghapusan pajak pesangon, THR, dan JHT. Pengesahan RUU Ketenagakerjaan: Mendesak pengesahan RUU Ketenagakerjaan tanpa memasukkan konsep Omnibuslaw. Pengesahan RUU Perampasan Aset: Sebagai upaya serius dalam pemberantasan korupsi. Revisi RUU Pemilu: Tuntutan untuk perancangan ulang sistem Pemilu 2029.

 

Kesenjangan: Potret Nyata Jurang Antara Rakyat dan Anggota Dewan

Said Iqbal juga menyoroti adanya kesenjangan ekonomi yang mencolok antara penghasilan anggota DPR dan buruh. Ia membandingkan total pendapatan anggota DPR yang mencapai sekitar Rp154 juta per bulan dengan upah minimum buruh yang hanya sekitar Rp5 juta per bulan di Jakarta.

Jika dirinci, rata-rata harian penghasilan seorang anggota DPR mencapai lebih dari Rp3 juta, sementara buruh dengan upah minimum hanya membawa pulang sekitar Rp150 ribu per hari. Kesenjangan ini bahkan lebih ekstrem jika dibandingkan dengan pekerja informal, seperti ojek daring, yang pendapatannya bisa hanya mencapai puluhan ribu rupiah per hari.

 

Menurut Said Iqbal, ketidakadilan ini bukan sekadar masalah angka, melainkan juga rasa keadilan yang terluka. Di satu sisi, rakyat berjuang untuk bertahan hidup dengan sistem kerja yang rentan dan eksploitatif, sementara di sisi lain, wakil rakyat justru menikmati kemewahan dan jaminan hidup yang luar biasa.

 

Aksi yang akan digelar pada 28 Agustus mendatang menjadi momentum bagi para buruh untuk menyampaikan aspirasi dan menuntut keadilan, berharap pemerintah akan lebih berpihak pada kepentingan pekerja dan rakyat kecil.

 



Post a Comment

Lebih baru Lebih lama